Seputar Perasaan Negatif Remaja & Cara Menghadapinya — untuk Orangtua

YThoughts
6 min readJul 15, 2021

--

sumber foto: pexels.com

Mari sama-sama akui terlebih dahulu, menjadi orang tua itu sulit.

Saya belum pernah menjadi orangtua (hehe), tapi saya sering memperhatikan orangtua saya dan lingkungan sekitar. Mencari nafkah, mengurus rumah, sampai membesarkan anak, bukanlah tanggung jawab yang mudah.

Namun, saya tidak ingin menutupi fakta.

Setiap anak pasti pernah sebal dengan orangtuanya. Begitu juga sebaliknya.

Orangtua mungkin stres dan tak paham dengan pembangkangan anak. Sedangkan anak kesal dengan orangtua yang tidak mau mengerti perkataan atau perasaannya, terutama remaja.

Menurut saya, budaya kita seringkali menghindar untuk membicarakan perasaan dan emosi. Sebab, emosi tidak terlihat, bagai tak nyata. Sehingga cukup sulit untuk memahaminya.

Ya, benar. tapi mari bicarakan itu disini.

MASALAH: Menyangkal Perasaan Negatif Anak

Tak dapat dipungkiri bahwa orangtua terkadang menyangkal perasaan negatif anak. Biasanya dengan berkata bahwa perasaan tersebut tidak benar, tanpa mengatasi serta mengakui perasaan mereka.

Bukannya orangtua tidak peduli, namun hal itu bukanlah prioritas utama bagi mereka yang sudah memiliki banyak tanggung jawab.

Saya pernah membaca buku “Seni Berbicara pada Anak, Panduan Mendidik Anak tanpa Ngegas!”, karya Joanna Fiber dan Julie King.

Ibu Joanna pernah berkata padanya, “Jika kamu tidak yakin apakah sesuatu itu benar, terapkan dulu pada dirimu.”

Sekarang, bayangkan suatu kejadian buruk yang pernah membuat Anda sedih atau kesal. Anda bercerita kepada teman, lalu respon mereka adalah:

marah pada sikap Anda & menasehati, “Sudah, berhentilah mengeluh. Kamu hanya perlu berusaha lagi.”

atau memberi kuliah filsafat, “Hidup memang seperti ini. Tidak ada yang sempurna. Sabar saja, ya.”

atau penyangkalan, “Kamu tidak perlu sedih begitu. Sebenarnya kejadian itu tidak terlalu buruk.”

atau membanding-bandingkan, “Lihatlah Ani, ketika dia mendapatkan masalah yang mirip denganmu, dia tidak berlebihan seperti kamu.”

Ughhh, menyebalkan bukan? :’(

Mungkin saja, Anda akan merasa lebih buruk setelah bercerita dengannya.

Sedangkan teman Anda tidak mengetahui seberapa hancur perasaan Anda saat itu. Ia bukan berempati, melainkan meminta secara tidak langsung agar Anda tidak melibatkan dirinya untuk mengatasi perasaan negatif Anda.

Sebagai orangtua, Anda mungkin tak habis pikir dengan perilaku anak yang tiba-tiba diam saja, marah, atau kesal secara berlebihan. Hal ini membuat Anda tidak nyaman, dan perasaan itu wajar. Tidak ada yang senang jika perasaan negatif seseorang mulai mengganggu suasana hati lainnya.

Maka, coba kita akui fakta ini:

Baik orang dewasa maupun anak-anak, kurang dapat bersikap baik saat perasaannya kurang baik. Semua orang.

AKIBAT PENYANGKALAN

Dilansir dari brightside.com, saat Anda memarahi atau menasehati anak supaya menghentikan perasaan negatifnya, ada 3 pelajaran yang anak dapat:

  1. Satu-satunya yang jahat adalah mereka, bukan apa pun yang menyakiti perasaan mereka
  2. Perasaan negatif itu memalukan dan harus disembunyikan
  3. Perasaan mereka tidak lebih penting daripada perasaan orangtua

Efek jangka panjang jika Anda terus menerus menyangkal perasaan anak adalah:

Anak tidak akan mempercayai perasaan mereka pada orangtua. Lebih luasnya lagi, semua orang dewasa.

Menurut saya, hal inilah mungkin yang menjadi penyebab anak jarang bercerita kepada orangtua maupun gurunya tentang masalah yang sedang mereka hadapi.

Menduga-duga, mereka hanya akan dimarahi atau dinasehati. Pola pikir seperti ini berasal dari cara orang dewasa disekitarnya memperlakukan perasaannya.

Dikhawatirkan, anak akan cenderung tertutup dan sulit mengekspresikan dirinya.

Selain itu juga dapat mengakibatkan kemarahan yang tidak terkendali, merasa tidak memiliki hak, bahkan gangguan kepribadian.

Tetapi sebelum mengetahui apa yang harus dilakukan, kita harus memahami terlebih dahulu, bagaimana perasaan dan emosi itu bekerja, terutama pada anak remaja.

PERASAAN & EMOSI REMAJA YANG UNIK

Seorang penulis buku “How to Parent a Teen — from Teens Perspective”, Lucy Androski pernah diundang di acara Ted Talks.

(Ngomong-ngomong, Anda akan sering membaca saya menyebutkan Ted Talks, karena selain mendatangkan pembicara terpercaya, topiknya keren-keren :)

Ia menyebutkan, terdapat sebuah artikel doktoral oleh Marwa Azab, berjudul “Why are teens so emotional?”.

Artikel menyebutkan, struktur otak limbik adalah bagian dari otak yang mengontrol sistem emosi. Pada remaja, bagian ini bekerja lebih lambat dibandingkan dengan sistem logika. Sehingga, butuh waktu bagi seorang remaja untuk memahami emosinya sendiri.

Lucy menyebutnya sebagai “wave emotions” atau ombak emosi. Anda mungkin memperhatikan bahwa tiba-tiba remaja akan marah pada hal-hal sepele, pernah menangis berlebihan, atau diam sepanjang hari. Suasana hati mereka begitu kuat dan berubah-ubah.

Seringkali saat remaja mengalami perasaan negatif, mereka tidak mencoba mencari tahu penyebabnya dengan akal sehat. Mereka malah berlarut-larut dalam perasaan itu.

APA YANG HARUS DILAKUKAN ORANGTUA

1. Akui Perasaan dengan Perkataan

Semua orang akan merasa lega jika perasaan negatif mereka diakui. Termasuk anak Anda.

Tips ini tercantum dalam buku “Seni Berbicara pada Anak” yang saya sebutkan sebelumnya.

Langkah-langkah yang diberikan penulis buku tersebut adalah:

  • Kuatkan hati dan tahan diri untuk tidak membalas ucapannya
  • Pikirkan emosi yang ia sedang rasakan
  • Sebutkan emosinya & masukkan dalam kalimat

Contohnya, jika anak menceritakan tentang pembelajaran daring yang membosankan, maka daripada berkata:

“Baik itu daring atau luring, sama saja asal kamu rajin belajar.”

Lebih baik:

“Ah, iya, belajar daring memang bikin pusing sepertinya.”

Saat mengakui perasaan, bersikaplah apa adanya. Tak seorangpun mau dimanipulasi.

Sebagian dari Anda mungkin berpikir hal tersebut akan membuat mereka menjadi anak yang sering mengeluh.

Ya, barangkali mereka akan membalas ucapan Anda dengan penjelasan lebih dalam tentang keluhan mereka.

Mereka akan terus mengeluh, bercerita, bahkan sampai menangis.

Lalu, apa yang selanjutnya akan terjadi?

Tidak ada.

Kenapa tidak akan ada yang terjadi?

Pernyataan ini berhubungan dengan tips yang ke-dua.

2. Tetap Tenang & Biarkan Mereka Merasa Lega dengan Sendirinya

Saya sangat sering mendengar keluhan dari teman-teman, terutama dari anak perempuan.

Jika sedang mendapatkan masalah dan bercerita kepada oranglain, sebetulnya mereka tidak membutuhkan solusi, mereka hanya butuh didengarkan. Kecuali jika mereka memang meminta solusi tersebut.

Remaja seringkali mendapatkan ombak emosi yang tiba-tiba menabrak mereka dan tidak tahu cara menghadapinya sendiri.

Lucy Androski, pembicara Ted Talks yang sudah saya sebutkan sebelumnya, menceritakan suatu kisah yang pernah terjadi saat fase pertamanya menjadi seorang remaja.

Lucy bercerita kepada Ibunya di mobil saat perjalanan pulang, bahwa ia sebenarnya tidak ingin mengikuti tim basket yang diminta Ibunya. Lucy menangis, dan ia pikir ibunya akan marah karena pengakuannya itu. Namun, tidak. Ibunya hanya diam dan sangat tenang. Hal ini membuat Lucy marah dan menangis lebih keras. Saat sampai di rumah, ia mulai tenang dan mengakui tangisannya tadi adalah suatu hal yang konyol. Ia membiarkan ombak emosinya berlalu.

Jika anak Anda mengalami ombak emosi, kuncinya adalah tetap tenang. Perasaan itu akan hilang seiring ia mengungkapkan kegundahannya.

Sekalipun Anda tidak memberikan solusi apapun, ia akan berpikir:

“Ya sudahlah, mungkin masalahku tidak terlalu buruk. Aku akan mencoba menangani masalah itu semampuku. Tadi itu, aku sangat berlebihan, hahaha.”

Jika Anda melawan perasaan anak, mereka memiliki alasan baru untuk marah. Tidak lagi memikirkan ombak emosi yang sebelumnya dikhawatirkan, sebaliknya mereka justru memikirkan betapa kesalnya mereka dimarahi Anda.

3. Buatlah Pernyataan daripada Pertanyaan

Jika anak Anda mendapat perasaan negatif dan mulai bercerita, dengarkan mereka, itu cukup sebagai langkah pertama. Gunakan bahasa tubuh untuk menunjukkan empati, seperti menaruh tangan Anda di bahu mereka atau mengangguk paham.

Namun, adakalanya anak tidak mau menceritakan masalahnya. Ketika ditanya “ada apa?”, malah diam saja. Tetapi, dari sikap dan ekspresi wajahnya, Anda bisa merasakan emosi negatifnya.

Tatkala hal itu terjadi, menurut buku “Seni Berbicara pada Anak”, Anda cukup mengakui perasaan mereka dengan membuat pernyataan, seperti:

“Sepertinya, kamu kelihatan sedih.”

“Kayanya, telah terjadi sesuatu hari ini.”

Perkataan tersebut sudah cukup membuat anak paham bahwa Anda berempati dan mengakui perasaannya.

BERIKAN NASIHAT DI WAKTU YANG TEPAT

Lantas, jika hanya menjadi pendengar atau mengakui perasaannya saja, kapan Anda dapat memberikan nasihat bagi masalah si anak?

Berikan nasihat apabila emosi negatif anak mulai mereda, di waktu dan tempat yang tepat. Ajaklah ke tempat yang privasi dimana Anda dan anak bisa bicara berdua.

Semua perasaan bisa diterima, batasilah sebagian tindakan. Contohnya:

“Meski kamu tahu belajar daring itu wajib agar kamu tetap sekolah, merasa bosan itu merupakan hal yang wajar.”

Berikanlah kesempatan pada anak untuk memahami masalah yang ada, sementara tetap berempati pada perasaannya.

AKHIR KATA

Masih banyak hal yang ingin saya ketahui tentang parenting dan sesungguhnya artikel ini tidaklah sempurna. Begitu juga hubungan antara orangtua dan anak. Semua itu merupakan bagian dari pembelajaran.

“Setiap perasaan itu valid karena mereka nyata. Tidak ada dari satupun yang salah. Hal yang membuat Anda menderita karenanya adalah menekan perasaan itu & tidak mengakuinya.”

Jalan-jalan beli semangka, semangat para orangtua! ^^

--

--

YThoughts
YThoughts

Written by YThoughts

I write to clarify my thoughts while sharing with others.

No responses yet