Sebuah karya fiksi dariku ketika masih sekolah dulu. Cerita panjang yang pendek, cerita pendek yang panjang.
Nurul, itulah namaku. Aku saat ini duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA) kelas 11. Aku memiliki sahabat dekat yakni Sofra, Mouri, dan Raihan. Mereka bukan teman satu kelasku ataupun tetangga rumahku. Kutemui mereka pertama kalinya di esktrakulikuler Karya Ilmiah Remaja (KIR) di sekolah.
Ya…, kami bersahabat karena kami memiliki hobi yang sama. Seringkali di sela-sela pulang sekolah dan hari libur, kami belajar bersama atau mengikuti seminar-seminar penambah wawasan ilmu. Kami saling mendukung dan mengingatkan dalam segala hal. Sungguh, aku sangat beruntung.
Sejak 7 bulan yang lalu, aku senantiasa teringat pada Adinda, seorang gadis manis yang tinggal tidak jauh dari sekolahku. Umurnya baru 9 tahun tetapi ia memiliki cacat di bagian kakinya sehingga menyulitkannya untuk bersekolah. Ditambah lagi, ayahnya, Pak Hamir. Dapat dikatakan keluarganya memiliki kondisi ekonomi yang tidak memadai.
Hal ini meniatkanku, Sofra, Mouri, dan Raihan membelikan kursi roda untuk Adinda. Setidaknya, raut kebahagiaannya dapat bersinar jika lebih leluasa di rumah ketimbang terbaring lesu di sebelah dinding lembab yang kusam.
Kami bertemu dengan Pak Hamir pertama kali ketika kami sedang duduk-duduk di pendopo alun-alun kota. Saat itu, kami beristirahat setelah lelahnya membuat karya ilmiah untuk diperlombakan minggu depan. Raihan yang duduk paling ujung, matanya melirik ke kanan, dilanjutkan denganku, “Mengapa bapak itu?” kubalas dengan bisikan pertanyaan.
Akhirnya, aku dan Raihan mencoba mendekati bapak yang sedari tadi memegang foto sambil menitikkan air mata diikuti Sofra dan Mouri yang penasaran. Kemudian, bapak lesu yang dipanggil Pak Hamir itu menceritakan semuanya.
Singkat cerita, kami telah mengunjungi rumah Pak Amir dan melihat kondisi Adinda. Kami memutuskan untuk mengumpulkan dana sosial untuk kursi roda Adinda. Apa daya kami yang masih duduk di bangku pendidikan. Uangpun kami dapat dari pemberian orangtua.
Hanya saja, aku ini berpengalaman soal berdagang. Memberikan ide pada kami untuk mengumpulkan uang jajan kami sebagai modal, lalu memutuskan untuk berjualan kue-kue basah. Untungnya memang tidak seberapa, itu yang membuat kami bekerja keras berbulan-bulan.
Dapat dikatakan, keringat kami tidak berhenti mengucur dari bulan Maret hingga pertengahan September. Tetap saja, selama itu, niat kami tidak pernah goyah. Setelah terkumpul, uang itu dititipkan di rumah Sofra karena dekat dengan sekolah.
28 September 2020, pagi itu sangat ingar. Bersama kemilau matahari sepenggalah, berdenting bel istirahat pertama. Kuganti baju seragamku dengan baju olahraga karena sehabis istirahat, terdapat mata pelajaran olahraga.
Aku simpan baju seragamku di dalam tas merah kehitam-hitaman yang biasa aku gunakan untuk membawa buku-buku tebal kepunyaan sekolah, kemudian kugantung di sisi kanan kursiku. Aku memindahkan jejak keluar pintu. Semuanya berhamburan keluar. “Hahaha.., wajah-wajah kelaparan sudah tak sabar melihat ibu kantin dan jajanannya,” gurauku dalam hati.
Tiba-tiba, ada sesuatu yang mengganggu. Membuat senyumanku sedikit demi sedikit memudar. Perseteruan tidak wajar merecoki tatapanku lurus. Kuperhatikan mereka yang semenjak tadi tidak hengkang di seberang kelas.
“Hei ra, sudah berapa kali aku ke rumahmu tapi kamu selalu tidak ada!” ledakan amarah Mouri yang berdiri di hadapan Sofra sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Sofra. Raihan hanya mondar-mandir, tanda protes terpendamnya melihat Sofra yang hanya melirikkan bola matanya ke bawah, diam seribu bahasa.
Aku mulai panik. Tak biasanya Mouri membentak, apalagi pada Sofra sahabatnya. Alisku mengkerut, berjalan beberapa langkah dari pintu kelas. “Ada apa ini?” tanyaku keheranan. Mouri dan Raihan hanya memandangku sejenak tanpa menimpali pertanyaanku yang terakhir. Sofra, sementara itu semakin mengarahkan wajahnya ke bawah.
Raihan menghela napas panjang sebelum akhirnya angkat bicara, “Ini masalah dana sosial Adinda, tetapi Sofra selalu lupa membawa dana itu.” Seketika, aku teringat akan gadis kecil itu. Air bening mulai menggenangi bola mataku. Mataku yang berkaca-kaca semakin membuat suasana menjadi lengang. Mouri dan Raihan hanya bolak-balik ke kanan dan ke kiri melihatku dan kebisuan Sofra yang dapat dikatakan sedikit acuh pada dana sosial itu.
“Treng…, treng…,” akhirnya bunyi itu memecahkan keheningan kami berempat. Yasmin, teman kelasku, semenjak tadi hanya memperhatikan dari jauh. Ia berlari mendekati gerbang sekolah, seraya mengatupkan kedua tangan agar membentuk corong di sekitar mulut. “Nurul, olahraga sudah mau di mulai. Cepat kesini!” teriakan Yasmin membuatku menyudahkan percakapan kami bertanda waktu istirahat sudah berakhir.
Aku berkata kepada Sofra, Mouri, dan Raihan sambil berancang-ancang pergi ke lapangan sekolah, “Aku mohon, jangan berdebat lagi. Nanti kita bicarakan dengan tenang.”
Sungguh aku tidak menghiraukan terik panas yang semakin sesak dan menyengat tubuh. Terutama di kantin, terlihat berdesak remaja-remaja, baik yang ingin jajan atau hanya duduk-duduk di pinggir kantin saat istirahat kedua, seperti yang aku lakukan.
Hatiku ini membuat suasana semakin pengap dan gerah ketika waktunya kemilau matahari tegak lurus dengan bumi. Aku hanya memikirkan Sofra yang jauh berbeda. Tidak demikian dengannya ketika ia bertemu Adinda pertama kali saat kami berempat ke rumah Pak Hamir. Sofra benar-benar mengusik pikiranku. Mungkin, begitu juga dengan Mouri dan Raihan. Entahlah, aku hanya menerka-nerka.
Gerimis tipis yang rapat membasahi pijakan-pijakan sekolah dengan sabar. Aku langkahkan jejakku perlahan. Aspal kian menggelap sampai akhirnya hitam pekat dan perasaanku masih dikacaukan dengan dana sosial itu.
Aku tak sabar hendak meluapkan kegelisahku pada Mouri dan Raihan. Tetapi dugaanku, mereka pasti sudah pulang. Titik-titik air itu sepertinya tidak mau berkompromi dengan langit sore yang cahayanya kian meredup.
Keesokan harinya, kicauan burung terdengar di samping embun-embun pagi yang lembab. Aku dikejutkan dengan Sofra yang duduk menunduk di depan kelasku. Setelah menyadari kehadiranku menuju arahnya, matanya bekilau-kilauan, ujung alisnya yang naik ke atas dahi sambil mengkerut, diikuti dengan lisannya yang mengeluarkan suara tertahan-tahan.
Kulihat dari jauh, ia seperti merasakan kesakitan dari lubuk hatinya. Hal itu membuat lajuku semakin bertambah mendekati dirinya. Semakin jelas wajahnya yang sangat-sangat merindukan ketenangan.
Akupun hadir di hadapannya. Sofra mendekapku dengan kedua tangannya yang lemas. Matanya memerah dengan air yang menyelimuti wajah bersihnya. Sontak, aku ingin menangis juga. Seolah merasakan apa yang sedang Sofra luapkan dengan tangisannya, walaupun aku tidak tahu apa itu.
“Ada apa Sofra? Mengapa kamu menangis?” bisikku dengan lembut. Ia menimpali pertanyaanku, “Aku mohon, maafkan aku Nurul!”. Mendengarnya membuat aku perlahan-lahan melepaskan dekapan Sofra, tandaku ingin mengetahui penjelasannya.
Sofra berkata sambil menatapku tepat di bola mata, “Nurul, aku benar-benar menyesal. Aku takut mengatakan ini. Aku takut kamu, Mouri, dan Raihan akan marah besar. Maaf! Maafkan aku! uang dana sosial itu hilang,” ucap Sofra dengan tangisannya yang semakin menjadi-jadi.
Mungkin, karena aku terkejut mendengar kejujuran Sofra, seperti ada yang lenyap dari kepercayaanku padanya. Pasalnya, itu bukanlah uang yang sedikit. Kami mengumpulkannya sangat lama. Tiba-tiba Sofra bersaksi bahwa uang itu hilang di rumahnya semenjak kerja kelompok pelajaran kimia tanpa pencarian lebih lanjut.
Yah…, pada dasarnya itu adalah kecelakaan. Aku memberitahukan hal ini pada Mouri dan Raihan. Anehnya, uangnya hilang dirumahnya sendiri. Artinya, masih ada jejak pelaku. Demi Adinda, menjadikan kami berempat tidak pasrah menerima keadaan. Kami harus menyelidikinya karena didapati kejanggalan yang harus dipecahkan untuk mencari suatu kebenaran.
Aku, Sofra, Mouri, dan Raihan memulai investigasi keesokan harinya. Kami sudah berjanji untuk datang ke sekolah lebih awal, sekitar pukul 06.00 dini hari. Niatnya adalah untuk membahas perkara hilangnya uang dana sosial untuk Adinda.
Keluarga Sofra sedang berada di rumah saudara sepupu ayahnya sewaktu kejadian hilangnya uang. Sebab itu, kutanya-tanya Sofra perkara siapa saja teman-teman kelasnya yang kerja kelompok ketika itu. Rizki, Sonia, dan Linda. Mereka yang berada di rumah Sofra ketika uang itu belum hilang.
Sofra benar-benar tidak menyadarinya, mereka keluar masuk kamar Sofra tanpa dicurigai. Sampai pada akhirnya, uang itu hilang setelah kerja kelompok berakhir. Kami sepakat untuk menginterogasi 3 teman kelas Sofra ketika pulang sekolah, Sofra telah memberitahu mereka.
Siang beranjak pergi. Digantikan oleh dentingan gelas-gelas kaca, seolah-olah sengaja disimfonikan. Pemandangan itu menyentuh relungku. Entah mengapa, seakan pikiran kelamku sirna ketika menatap gemericik cantik yang turun membasahi tembok-tembok sekolah. Betapa baiknya Tuhan kepadaku.
Terkadang, pintaku lebih banyak daripada syukurku. Tak jarang aku mengeluh, sementara jutaan umat di luar sana seperti Adinda dan Pak Hamir tetap memandang indah keadaannya dengan senantiasa meminta pada Yang Maha Kuasa agar menegarkan hatinya.
Ketika diberi yang sedikit tetapi merasakannya seperti meluap-luap, itulah makna syukur. Yah…, renungan di sore itu dihiasi pelangi yang menari pada gumpalan biru kehitam-hitaman. “Kring…, kring…, kring,” deringan itu benar-benar mengusik ketentraman batinku. Ah, ternyata itu telepon dari Raihan. Ia menyuruhku untuk segera pergi ke pendopo sekolah.
Serumpun tetes hujan menghiasi kedatanganku di pendopo itu. Semua sudah menunggu. “Baiklah, tidak usah basa-basi lagi. Mari kita mulai,” tegas Muori pada ketiga teman Sofra. Aku, Sofra, Mouri dan Raihan meminta pernyataan dari mereka satu persatu.
“Aku memang yang pertama kali melihat amplop itu ketika masuk ke kamar Sofra untuk mencari tabel periodik kimia. Aku tahu isinya uang, namun aku hanya memindahkannya ke sebelah kiri meja belajar karena aku sedang mencari tabel itu. Kemudian aku langsung keluar,” pengakuan Rizki.
“Aku memang melihat amplop itu di atas meja. Aku tidak tahu isinya, tapi sepertinya penting. Jadi, aku menyelipkannya di cetakan laporan ilmiah dari guru kami antara halaman 135 dan 136,” ucap Sonia.
“Waktu itu, aku ingin pulang dan hendak mengambil tasku di kamar Sofra. Tapi, aku melihat amplop itu sudah jatuh. Aku penasaran, jadi aku buka tetapi ternyata isinya kosong,” celoteh Linda.
Pengakuan mereka, aku rekam dengan ponselku. Sore itu, Mouri membubarkan semuanya. Kebingungan melanda kami, karena ketiga teman Sofra memiliki alibi yang cukup kuat. Sepintas, terlintas di benakku ketika aku berjalan pulang menuju rumah bahwa aku ingin menyerah.
“Tidak! Aku tidak boleh putus asa!” bentakku pada diriku sendiri. Pasalnya, ini demi adik manis itu. Adinda pasti sudah mengharapkan kursi roda dari kami berempat. Aku tidak ingin membuatnya kecewa.
Malamnya, aku periksa kembali rekamanku. Aku dengarkan berulang-ulang tetapi seperti tidak ada yang janggal. Kesekian kalinya aku mendengarkan rekaman itu, aku menemukan 1 fakta. Aku cek kebenaran itu pada laporan penelitian sosial yang aku buat. “Aha!!! Ini jawabannya. Aku yakin, dialah pelakunya,” ucapku tanda kepercayaan diriku pada hal yang sudah aku temukan.
Keesokan sorenya, kini aku yang menyuruh Sofra, Mouri, Raihan, Rizki, Sonia, dan Linda untuk berkumpul kembali di pendopo sekolah. Waktu petang itu dilengkapi hembusan angin lembut menerpa pori-pori, hingga menyegarkan kepalaku yang panas.
Kutarik napas panjang sebelum akhirnya, “Sonia pelakunya!” tegasku kepada seluruh teman sebayaku yang duduk berhadapan. Kala itu, semua terperanjat. Wajah mereka kehilangan kesejukkannya mendengar pernyataanku di sela-sela senja mulai menghilangkan sinar keemasannya.
“Apa! Mengapa kamu menuduhku? Bukankah kamu kemarin memberitahu lewat pesan singkat bahwa aku bukan pelakunya. Kamu ingin memberitahu kepada kita semua, siapa pembohong sebenarnya.” teriak Sonia kepadaku.
Sebenarnya aku sangat tidak tega menuduhnya tapi aku mantapkan hatiku untuk menyatakan yang sebenarnya. Kupandang bola mata Sonia layaknya sebuah pedang.
“Sonia, dari alibimu kemarin, aku sudah mendapatkan kesimpulan. Soal membohongimu di pesan singkat semalam, aku yakin bahwa kamu tidak akan datang ketika aku belum mengatakan kepadamu bahwa bukan kamu pelakunya. Aku telah menyiapkan semua ini,” ujarku.
Keringat dingin membasahi dahi Sonia. Semua orang terdiam saat itu, hanya menunggu kalimat selanjutnya yang keluar dari lisanku tentang bukti salahnya Sonia.
“Tidak mungkin kamu menyelipkan amplop di halaman 135 dan 136 karena umumnya halaman tersebut 1 kertas alias bolak-balik. Aku membuktikannya pada laporan penelitian sosial yang aku buat, sudah disetujui oleh guruku. Ternyata, halaman itu memang harus disatu kertaskan ketentuannya. Sehingga, faktanya halaman tersebut tidak dapat diselipi amplop,” itulah pernyataanku.
Sonia tertunduk lesu. Ia tidak mampu membantah bukti-bukti yang aku serahkan kepadanya. Sonia tahu soal dana sosial itu ketika ia mendengar percakapan kami di samping kelas Sofra. Membuat peluang baginya untuk mengambil uang itu dengan cara berpura-pura ingin diajari kimia oleh Sofra.
“Sungguh, maafkan aku! Aku terpaksa karena ibuku sedang sakit. Aku tidak memiliki biaya untuk berobat ibuku. Ayahku telah meninggal 2 tahun yang lalu. Nafkah, hanya aku serahkan pada uang hasil penjualan motor ayah yang kala itu sudah habis. Aku mencoba mencari uang halal, tetapi itu tidak cukup. Tolong mengertilah!” ujar Sonia seraya mengeluarkan isak tangis yang tertahan-tahan.
Aku, Sofra, Mouri, dan Raihan tidak kuasa menahan keprihatinan kami pada Sonia. Kami akhiri percakapan tegang sore itu. Sofra menenangkan kami semua dengan mengatakan, “Biarlah, nanti kita ambil jalan tengahnya. Sekarang, lebih baik kita semua pulang. Apalagi, aku khawatir pada Rizki, Sonia, dan Linda yang tidak biasa pulang sore.”
Aku, Sofra, Mouri dan Raihan tidak langsung pulang seperti yang dilakukan ketiga teman Sofra. Kami saling meminta izin untuk pergi ke rumah Pak Hamir kepada orang tua kami masing-masing sore itu. Kami berangkat menemui Pak Hamir dan Adinda dari sekolah.
Berkumandang azan maghrib, membuat perjalanan kami terhenti sejenak untuk melaksanakan salat di masjid dekat rumah Pak Hamir. Suasana kala itu membuat kami ingin sujud berlama-lama di hadapan-Nya. Kami meminta petunjuk dan pertolongan kepada-Nya agar dapat mengembalikan kebahagiaan Adinda. Kami berbisik ke arah bumi.
Syukurnya, didengar oleh langit. Ketika kami tiba di rumah Pak Hamir, sebuah kursi roda dilengkapi dengan pita berwarna merah muda dan sepasang sepatu kecil bercorak polkadot hadir di hadapan kami. Pak Hamir tersenyum, menunjukkan ekspresi kebahagiaannya pada kami.
“Alhamdulillah nak, ini bapak dapat dari seorang malaikat baik hati yang memberikan semua ini untuk Adinda. Entah siapa itu. Ketika bapak pulang dari memulung, bapak temukan semua ini telah ada di depan pintu rumah bapak,” ucap Pak Hamir yang sangat bahagia itu. Ah…, lega rasanya. Kutengok raut manis Adinda yang duduk di kursi roda barunya itu.
Entah siapa malaikat baik hati itu. Namun pastinya, ia sudah mengetahui kondisi Adinda, sama seperti kami. Setelah sekitar satu jam ada disana, kami berpamitan pada Pak Hamir dan Adinda. Tak lupa sebelum itu, kami menceritakan semua tentang dana sosial juga perkara Sonia yang mencuri uang itu.
“Nak, saat kau genggamkan harapanmu pada manusia, suatu saat ia akan melepaskan genggamannya. Namun, saat kau menggenggam harapanmu pada-Nya, Dia akan terus menggenggam erat kemudian membalasnya dengan kebaikan. Seperti yang saat ini terjadi,” begitulah nasihat Pak Hamir.
Nasihat tersebut menyadarkan kami bahwa ikhlas itu bukan sekedar menerima. Tetapi suatu kepercayaan bahwa segala sesuatunya akan kembali kepada Yang Maha Kuasa. Pada akhirnya, yang kami ikhtiarkan hakikatnya adalah membongkar segala kebenaran.