Main Medsos Terus saat Pandemi? Coba Cara Ini biar Gak Kecanduan!
Pandemi covid-19 membuat kita, manusia, terpisah secara fisik. Semua tetap di rumah masing-masing, hanya dapat terhubung secara daring.
Tak khayal, kondisi tersebut menjadikan kita lebih bersahabat dengan gawai, dibanding sebelumnya.
Namun, semakin lama di rumah, pernahkah kita merasa tidak produktif? Hari demi hari hanya dihabiskan untuk rebahan di tempat tidur atau sofa ruang tamu sambil bermain media sosial.
Tidak ada yang membuat kita lebih bersemangat daripada scrolling Instagram, melihat foto-foto teman lama di Facebook, atau mengikuti isu hangat di Twitter.
Sebenarnya bermain media sosial tidaklah mengapa, namun jangan sampai kegiatan tersebut dilakukan sebelum kewajiban kita terselesaikan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa mengerjakan tugas di rumah memang sedikit lebih berat. Hal yang sering terjadi adalah tidak ada tugas yang tuntas, pekerjaan ditunda-tunda, atau malas untuk sekedar memulai.
Ketika tugas atau pekerjaan sudah mendekati tenggat waktu, barulah kita menggunakan jurus SKS (Sistem Kebut Semalam).
Jika situasi ini yang seringkali kita alami, boleh jadi kita sudah kecanduan hormon kebahagiaan dari media sosial.
Kontribusi Hormon Dopamin dalam Tubuh
Secara umum, hormon kebahagiaan lebih dikenal sebagai hormon dopamin.
Dopamin merupakan senyawa yang dilepaskan otak karena kita merasakan suatu kebahagiaan atau kenikmatan.
Sebenarnya, hormon ini berperan penting pula pada proses-proses lain dalam otak, tetapi saya akan berfokus pada “logika pelepasan hormon kebahagiaan” itu sendiri.
Sewaktu diberikan kejutan pada hari ulang tahun, kita mengeluarkan dopamin. Ketika menonton TV setelah penat seharian bekerja, kita mengeluarkan dopamin. Termasuk ketika bermain media sosial, kita akan mengeluarkan dopamin.
Menurut James Clear, salah satu pakar bidang “kebiasaan” asal Amerika dan penulis “Atomic Habits”, dopamin dilepaskan tidak hanya ketika mengalami kebahagiaan saja, tetapi juga ketika kita mengantisipasinya.
Contohnya, terkadang kita lebih bersemangat menantikan liburan daripada menjalani liburan itu sendiri. Semasa kanak-kanak, kita asyik mengkhayalkan tentang uang lebaran dan kue nastar pada Idul Fitri nanti. Atau ketika menjelang waktu pulang dari kantor, kita sudah membayangkan kenikmatan saat istirahat di tempat tidur kesayangan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa dopamin dilepaskan tatkala kita memiliki “motivasi” untuk melaksanakan aktivitas yang sekiranya akan melepaskan dopamin juga.
Kita bergairah untuk memulai tindakan yang menghasilkan ganjaran berupa kebahagiaan.
Kaitan Hormon Dopamin dan Media Sosial
Saya memiliki contoh yang bisa dianalogikan dengan permasalahan kita terkait media sosial dan dopamin.
Saya akan merunutkan proses seorang pelajar SMA yang hendak melaksanakan ujian akhir di kala pandemi.
Sebut saja pelajar ini sebagai Mawar.
Idealnya, ia mesti membuat strategi-strategi khusus agar nilai ujiannya memuaskan, walaupun lebih banyak belajar sendirian di rumah.
Alhasil, Mawar memutuskan untuk membuat jadwal belajar setiap hari. Seringkali pelajar ini akhirnya tidak mempunyai waktu untuk kebahagiaannya sendiri. Ia juga sesekali tertidur di depan meja belajar karena kelelahan. Hari ujian pun tiba.
Mawar dapat mengerjakan soal-soal ujian dengan baik dan mendapatkan nilai ujian yang sangat memuaskan. Sontak, Mawar sangat bahagia.
Sesulit apapun proses yang ia jalani dalam persiapan ujian, saat nilai ujiannya bagus, produksi dopamin akan melonjak naik.
Proses yang Mawar alami akan sangat berbeda dengan proses bermain media sosial.
Tidak ada kerja keras yang berarti untuk mendapatkan dopamin. Kita tinggal mengambil handphone, membuka media sosial, melihat postingan yang disukai, alhasil kita bahagia.
Hal ini disebut sebagai “kebahagiaan instan.” Situasi yang terjadi adalah otak kita akan terbiasa untuk lebih senang mengerjakan sesuatu yang mudah dan mendapatkan kenikmatan yang lebih cepat.
Akibatnya, otak akan malas menjalankan pekerjaan yang sulit.
Sebab, selagi mengikhtiarkan pekerjaan sulit, kita harus mengorbankan sesuatu. Entah itu waktu, energi, maupun perhatian lebih lama. Hormon dopamin pun akan sulit di capai. Begitulah logika berpikirnya.
Detoksifikasi Hormon Dopamin saat Bermain Media Sosial
Oleh karena itu, kita patut me-reset otak kita seperti sedia kala dengan “puasa media sosial”.
Hal ini dilakukan sebagai upaya detoksifikasi hormon dopamin berlebihan lantaran bermain media sosial.
Sehingga kita akan jauh lebih termotivasi untuk menunaikan pekerjaan-pekerjaan sulit di rumah dibandingkan sebelumnya. Puasa media sosial ini memerlukan niat yang kuat.
Ada dua cara yang dapat ditempuh dengan kesulitannya masing-masing.
Pertama, jika kita baru berniat untuk mengurangi penggunaan media sosial, bukan meninggalkannya secara penuh, maka kita harus memiliki jadwal kapan dan dimana boleh bermain media sosial.
Tentunya intensitas waktu penggunaannya pun harus dikurangi. Misalnya, dari mulai bangun pagi sampai pukul 19.00 WIB, tidak diperkenankan membuka media sosial.
Kita hanya boleh melaksanakan hal-hal selain itu di rumah. Kita juga bisa membuat peraturan spesifik seperti: “Saya hanya membuka media sosial seminggu sekali, di hari minggu, di ruang tamu, selama 30 menit, dengan alasan…”
Mengapa harus spesifik? James Clear, penulis buku “Atomic Habits” mengatakan bahwa kadang kala manusia bukan kurang termotivasi, mereka hanya kurang jelas menentukan kapan dan dimana perubahan kebiasaan harus dilakukan.
Kedua, cara ini lebih efektif tetapi membutuhkan mental yang lebih teguh.
Caranya, kita perlu menghapus aplikasi media sosial dari gawai. Jangan pernah membuka media sosial selama 90 hari atau tiga bulan berturut-turut.
Kenapa harus 90 hari? karena di dalam dunia psikologi, terdapat rumus “aturan 21/90”. Pada dasarnya, manusia mampu menanamkan suatu kebiasaan dalam waktu 21 hari.
Setelah itu, agar kebiasaan tersebut melekat atau menjadi gaya hidup, perlu ada repetisi kebiasaan. Pengulangan kebiasaan ini dilakukan selama 90 hari.
Manfaat Detoksifikasi Dopamin
Semasa mengikhtiarkan puasa media sosial di rumah, ini akan sangat membosankan. Namun kondisi inilah yang diharapkan terjadi.
Apabila tidak mengizinkan diri menggunakan media sosial, otomatis kita akan “terpaksa” melakukan sesuatu yang lain.
Alhasil, kita pun akan menunaikan kewajiban yang seharusnya dituntaskan. Andaikata masih merasa malas melaksanakan kewajiban, setidaknya kita bisa melakukan hal-hal di rumah selain membuka media sosial.
Kiat ini juga bisa diimplementasikan kepada segala sumber-sumber aktivitas yang akan memberikan kita tonjokan dopamin berlebih seperti menonton televisi atau bermain game.
Semakin lama meninggalkan akar-akar “kebahagiaan instan”, otak akan semakin terbiasa mengerjakan pekerjaan sulit, kita pun kian produktif dan mampu memanfaatkan waktu lebih baik selagi berada di rumah.
Mungkin saya akan memunculkan kemungkinan terburuk dari sistem perubahan kebiasaan ini selama pandemi covid-19 seperti akan ketinggalan informasi, tidak mengetahui kabar teman-teman, atau kehilangan eksistensi diri di media sosial.
Tetapi perihal ini bisa dicari alternatifnya.
Misalnya dengan lebih banyak membaca artikel atau berita daring. Anda juga dapat menghubungi teman-teman lewat aplikasi lain seperti WhatsApp atau berjumpa via panggilan video.
Sehingga hubungan kita dengan orang-orang tersayang akan lebih intim dibandingkan ketika di media sosial.
Saat ini yang terpenting adalah membuat diri kembali produktif, walaupun di rumah saja.
Menurut saya, media sosial bersifat netral.
Ia bisa menguntungkan kita ketika digunakan secara benar, seperti memanfaatkannya untuk memperluas jaringan bisnis, memperkenalkan produk, mempererat silaturahmi, dan lain-lain.
Namun media sosial juga dapat merugikan kita ketika digunakan secara salah atau berlebihan, seperti masalah yang sudah dipaparkan sebelumnya pada tulisan saya ini.
Setiap kita melangkah, janganlah bersifat impulsif, termasuk saat menggunakan media sosial. Kita harus memiliki tujuan pada sekecil apapun tindakan kita.
“Be intentional in every way” atau “disengaja dalam segala hal.”
Sehingga kita tidak akan terbawa arus sebagaimana mengikuti nafsu dan keinginan kita, namun berupaya untuk memenuhi kebutuhan dan kewajiban kita walaupun hanya berada di rumah saja.