Ini Alasan Kamu Sering Membandingkan Diri dengan Oranglain & 4 Cara Mengatasinya!
Tidak ada cara terbaik untuk merasa tidak mampu, bodoh, dan payah, selain membandingkan diri sendiri dengan orang lain.
Sehebat, sekeren, atau sepintar apapun diri kamu.
Apakah itu salah? mungkin niatmu agar termotivasi menjadi lebih baik?
Yang sering terjadi adalah perilaku itu bukan memotivasi, melainkan hanya melenyapkan semangat.
Menurut saya, kamu tidak akan merasa jauh lebih baik dengan mencoba membandingkan sesuatu yang tidak kamu punya, dengan sesuatu yang kamu punya sekarang.
Tetapi, sadar maupun tidak sadar, kita melakukannya.
Sebelum mengetahui cara berhenti membandingkan diri dengan orang lain, kita harus terlebih dahulu mengetahui kenapa kita melakukan itu.
PERILAKU INI, ADA TEORINYA LOH!
Di dalam psikologi, ini disebut “social comparison” atau perbandingan sosial. Teori ini dikemukakan pertama kali oleh Leon Festinger pada tahun 1954.
Lazimnya, manusia itu suka mengevaluasi dirinya.
Loh, kenapa? ..
- Pernah mendapatkan pengalaman kegagalan atau ancaman di masa lalu
- Mengantisipasi kegagalan atau tantangan di masa depan
- Penyesuaian diri dengan mayoritas masyarakat
Tujuannya baik kan sebetulnya?
Sayangnya, tidak benar-benar ada petunjuk lengkap untuk bagaimana melangsungkan proses evaluasi diri pada keseharian kita.
Sebagai contoh, kalau kamu ingin mengevaluasi seberapa pintar kamu bermain sepak bola, gimana coba cara menilainya? harus sewa pelatih profesional agar indikatornya lebih jelas?
sepertinya, akan butuh waktu yang lama untuk mengetahui kamu jago atau tidak.
Eh, tapi gimana kalau..
cukup bandingkan diri kamu dengan teman yang punya hobi di bidang sepak bola juga, gimana? Lebih gampang mana, sewa pelatih atau bandingin diri dengan teman?
Hal itu kemungkinan besar jawaban mengapa kita sering membandingkan diri sendiri dengan orang lain tanpa unsur objektivitas.
Sebab, evaluasi diri terasa lebih cepat, mudah, dan tidak memakan waktu lama.
Biasanya, kamu akan membandingkan diri sendiri dengan orang lain yang mempunyai ciri-ciri yang sama dengan kamu dalam suatu aspek.
Misalnya, kamu adalah tipe siswa yang biasa-biasa saja di kelas. Tentu, jika nilai ulangan kamu rata-rata, kamu pasti nyari temen yang nilainya mirip denganmu. Kamu tidak akan membandingkan diri dengan para juara kelas yang sudah biasa mendapatkan nilai bagus.
Tetapi, jika kamu adalah siswa yang sering mendapatkan ranking di kelas, kamu cenderung tidak ingin tahu nilai ulangan teman-teman yang kamu kenal “biasa saja”. Kamu pasti kepo dengan nilai teman yang sering ranking juga.
Bener gak? wkwkwk
Lagi,
Biasanya, kamu membandingkan diri kamu dengan orang terdekat/sederajat.
Teman, saudara, dll. Begini contohnya.
Persoalan wajah glowing (hehe). Ceritanya, kamu merupakan seorang siswa SMA yang hanya memiliki skincare seadanya. Kamu tidak akan membandingkan diri dengan para artis yang sudah pasti mendapatkan perawatan ekstra pada setiap inci wajahnya.
Tetapi, kamu bandingkan tingkat glowing-nya wajahmu dengan wajah teman sekelasmu. Itu lebih mudah dan masuk akal kan?
2 JENIS PERBANDINGAN SOSIAL
Menurut Festinger, penemu teori perbandingan sosial, ada dua perbandingan sosial yang dilakukan manusia.
1. Perbandingan sosial ke atas (upward social comparison)
Tatkala seseorang menandingkan dengan orang lain yang lebih unggul, ia akan cenderung memandang dirinya inferior atau lebih rendah.
Well, ini saya temukan sangat sering terjadi di media sosial.
Menurut saya, terutama bagi para remaja, media sosial banyak membawa dampak negatif :(
Namun sayangnya, tidak semua menyadari masalah tersebut dan terus menggunakannya secara berlebihan.
Kamu tahu efek perbandingan sosial ke atas ini?
Kamu akan berusaha terlihat sempurna.
Kamu akan menghindari kegagalan, kecacatan, dan keburukan yang kamu punya di kehidupan nyata.
Di kehidupan nyata saja tidak jarang seperti ini, ditambah lagi dengan bombardir berbagai kebahagiaan orang lain yang “sebetulnya” tidak perlu kamu ketahui, tersedia di media sosial.
Apakah itu sehat? jelas pendapat saya, tidak.
2. Perbandingan sosial ke bawah (downward social comparison)
Seseorang yang menandingkan dengan orang lain yang lebih buruk, mempunyai kecenderungan untuk menganggap dirinya superior atau lebih hebat. Inilah akibat dari perbandingan sosial ke bawah.
Contohnya, apabila ternyata kamu mendapatkan nilai ulangan yang lebih bagus daripada teman, maka kamu akan jauh merasa lebih percaya diri.
Tak dapat dipungkiri bahwa manusia memiliki sifat tersebut.
Walaupun emosi ini dikhawatirkan mengarah pada sikap perfeksionis atau meremehkan, tetapi perbandingan tersebut menghasilkan respon positif dari diri seseorang.
Tetapi, coba ditanyakan kepada diri, apakah sikap ini baik?
tentu hati kecil kamu berkata: tidak.
Jadi, apa yang harus kita lakukan?
4 CARA EFEKTIF BERHENTI MEMBANDINGKAN DIRI DENGAN ORANG LAIN
1. Terapkan Alignment
Dalam acara Ted-Talk berjudul “The Culture of Comparison”, Bea Arthur sebagai seorang terapis profesional memberikan saran ini.
Kompetisi di sekolah terkadang membantu kamu meningkatkan kepercayaan diri, jika kamu berhasil.
Tetapi, tak jarang dari kita hanya berakhir pada perasaan merasa lebih bodoh dari orang lain atau merasa kurang dari segala aspek. Seolah-olah, perkataan negatif dari diri sendiri tidak henti-hentinya memutari otak.
Oleh karena itu, yang jauh lebih baik kamu lakukan adalah keselarasan (alignment).
Jangan selaraskan diri kamu dengan orang lain. Selaraskan diri kamu dengan target kamu.
Maksudnya seperti apa?
Kenapa teman-temanmu lebih terlihat baik atau buruk dibandingkan kamu? karena mereka berhadapan dengan lingkungan, pengalaman, masa kecil, bahkan kerja keras yang berbeda dari kamu.
Setelah menyadari adanya perbedaan antara kamu dan mereka, jangan menuntut kesetaraan antara kamu dan mereka pula.
Satu-satunya cara menghilangkan perasaan tidak pernah layak adalah hidup di atas budaya perbandingan sosial ini.
Tentukan target yang ingin kamu capai, lihat ke arah targetmu, dan fokuslah berjalan ke arahnya!
Contohnya, target kamu adalah mendapatkan nilai 80, 90, lalu 100 di pelajaran matematika. Maka, fokuslah pada target itu.
Setelah kamu belajar siang dan malam, kamu mendapatkan nilai 78 saat ulangan pertama. Kamu mesti bangga :)
Di dalam pikiran, kamu tidak perlu peduli siswa lain dapat berapa saat ulangan itu. Karena kamu “hanya” membandingkan diri kamu dengan target kamu. Tidak dengan siapapun.
Saat kamu secara tidak sengaja membandingkan diri dengan orang lain lagi, daripada:
Ah, kenapa dia lebih hebat dariku!
Sebaliknya, katakan:
Sedekat apa aku pada targetku?
2. Jangan Berhenti Mengejar Targetmu
Jangan bandingkan 2 hari kemajuan kamu dengan 1 tahun kemajuan orang lain berusaha.
Upaya dan kecepatan hasil dari target setiap orang itu berbeda-beda.
Faktanya, sukses itu sulit.
Kamu akan mengalami jatuh bangun berkali-kali bahkan bertahun-tahun. Kamu akan melihat orang yang lebih hebat darimu, orang-orang akan mengkritik bahwa kamu tidak bisa, bahkan dari orang-orang terdekatmu sendiri.
Tapi satu hal yang ingin saya ingatkan,
“kamu punya jatah gagal, kamu punya hak untuk belajar, dan jangan pernah berhenti sampai targetmu tercapai.”
Jika kamu seorang siswa, kamu bukan hanya punya hak untuk mendapatkan materi dari guru atau sekedar menerima akses mengikuti ujian.
Namun, kamu memiliki hak penuh untuk gagal dan belajar.
Jadi, umpama diminta berpendapat di kelas dan kamu menjawabnya semaksimal mungkin namun salah/gagal, itu adalah hak kamu untuk berbicara disana. Terlepas dari kecacatan dalam ikhtiarmu.
Langkahkan kakimu pada sesuatu yang kamu takuti. Hadapi itu setiap hari. Kamu akan berkembang dan bertumbuh.
Dan satu hal lagi,
jangan pernah katakan targetmu pada siapapun.
Kenapa?
Terdapat acara Ted-Talk yang diisi oleh Derek Sivers yang berjudul “Keep your goals to yourself”.
Derek mengungkapkan, studi menunjukkan jika kamu memberitahu tujuanmu pada orang lain dan mereka mengakuinya, otakmu akan percaya seolah-olah tujuan itu telah terlaksana. Karena kamu merasakan kepuasan pengakuan.
Oleh karena itu, setelah mengatakannya, kamu memiliki kecenderungan untuk tidak berupaya penuh mengejar tujuanmu itu.
Confuse them with your silent, shock them with your result.
3. Ubah Pola Pikir atas Kebahagiaan Orang Lain
Seringkali, cara kita memandang orang lain telah mempengaruhi cara pandang terhadap diri kita sendiri pula.
Jika kamu berkomentar negatif tentang pencapaian orang lain, seperti “ah, gitu doang aja di puji-puji orang. Aku juga bisa”.
Perkataan tersebut bisa berarti hatimu sedang mencoba memberitahu,“kok bisa ya dia kaya gitu, sedangkan aku engga.”
Kamu mencoba membenarkan tindakanmu untuk menjadi rata-rata dan tidak pernah berusaha mengejar targetmu sendiri.
Jika seseorang telah mendapatkan suatu keberuntungan, cobalah untuk berpikir:
“Ia memiliki target yang tidak aku ketahui, ia mungkin saja bekerja keras namun tidak pernah terlihat olehku, ia pantas mendapatkan apa yang dia usahakan.”
Sekali lagi, fokuslah pada targetmu sendiri, bukan target dan pencapaian orang lain.
4. Batasi Penggunaan Media Sosial
Kebahagiaan orang lain yang kamu lihat di media sosial tidak selalu benar. Seolah-olah, kamu membandingkan panggung orang lain — dimana mereka bisa berpura-pura menjadi sempurna — dengan diri kamu di belakang layar, yang sering retak dan jatuh.
Ini benar-benar tidak sehat. Hindarilah semaksimal mungkin paparan kesempurnaan itu.
Cobalah untuk berpuasa media sosial. Kamu bisa membaca artikel saya yang ini dan yang ini untuk penjelasan lebih lengkap, mengapa media sosial bisa sangat berbahaya dan cara yang tepat agar tidak terlalu sering mengkonsumsinya :)
AKHIR KATA
Saya akan akhiri artikel ini dengan terjemahan paragraf pembuka artikel dari penulis Kevin Gammon,
“Khawatir tentang apa yang orang lain pikirkan tentang Anda membunuh inovasi, kreasi, dan melakukan hal-hal yang benar-benar penting.”
Seorang aktris sekaligus penyanyi legendaris, Marilyn Monroe pernah berkata,
“Mencoba menjadi orang lain adalah menyia-nyiakan dirimu yang sebenarnya.”
Terimakasih :)